Mahasiswa dan Dilema Persimpangan Jalan Kehidupannya



Mahasiswa merupakan salah satu unsur dalam pendidikan, yakni sebagai peserta didik. Mahasiswa juga merupakan bentuk revolusi kritis dari seorang siswa, dimana terdapat dinding pembatas antara makna lugas mahasiswa dengan siswa. Perbedaan fisiknya dapat dilihat dari penggunaan kata “maha” yang digabungkan ke kata “siswa”, sehingga menjadi kata “mahasiswa” yang berarti siswa yang luar biasa. Secara psikis, juga terdapat perbedaan nyata antara keduanya. Ketika masih berstatus sebagai siswa, baik itu di SD, SMP, maupun di SMA, segala sikap dan perbuatan yang hendak dilakukan selalu dibimbing dan diarahkan oleh lingkungan sekolahnya. Dalam hal ini, lingkungannya turut berperan aktif dalam mengontrol tindakan-tindakan apa saja yang dilakukan siswanya. Mungkin dengan kata lain, segala kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan oleh siswanya sudah disiapkan dan siswanya hanya tinggal memakainya saja. Lain halnya dengan seorang mahasiswa. Mereka harus berusaha untuk mencari sendiri kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan, karena disini mahasiswa dituntut untuk mandiri dan berfikir kreatif. Lingkungannya hanya bertindak sebagai mediator aktif yang selalu menyediakan kesempatan-kesempatan yang berupa kebutuhan-kebutuhan yang ada, sehingga mahasiswanya dapat menemukan,  memakainya dan berusaha untuk mengembangkannya.

            Mahasiswa merupakan salah satu aktor dalam perfilman pendidikan. Jika ada aktor dalam pembuatan sebuah film, maka haruslah ada sutradaranya. Jika kita analogikan, aktor sebagai mahasiswa dan universitas sebagai sutradaranya, maka akan terdapat hubungan yang erat dan harmonis antara keduanya. Kualitas suatu film akan tergantung dari kecakapan sutradaranya dalam menyadur sebuah plot cerita. Oleh sutradara, seorang aktor akan disuruh untuk memilih peran yang akan mereka geluti. Peran itu dapat terlihat dalam skrip yang telah disediakan sebelumnya. Berdasarkan analogi diatas, sebagai seorang aktor, mahasiswa yang terdapat di lingkungan universitas (dalam hal ini sebagai sutradara), akan berusaha bertindak sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh lingkungannya. Namun terlebih dahulu mahasiswa harus dibekali dengan pemahaman-pemahaman logis yang nantinya dapat membantu mereka dalam menentukan jejak awal pilihan hidupnya. Pemahaman-pemahaman tersebut dapat dikaitkan dengan adanya usaha lingkungan untuk menawarkan opsi-opsi atau pilihan-pilihan kepada mahasiswa. Pilihan-pilihan itu nantinya akan dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor internal maupun eksternal, yang menuntun mahasiswa untuk memilih opsi tersebut.


            Jika dilihat dari sudut pandang objek dan subjek, universitas menempati jabatan sebagai subjek pendidikan, dan otomatis mahasiswa menempati jabatan sebagai objek pendidikan. Dalam periode pendidikan, universitas dalam artian lingkungannya mampu mempengaruhi karakter dan sikap mahasiswanya. Sebagai subjek yang dominan, lingkungan dapat senantiasa berperan aktif dalam menentukan kualitas seorang mahasiswa, namun dengan syarat tetap tergantung dari sikap dan kehendak dari mahasiswa itu sendiri tentunya. Maksudnya disini, lingkungan hanya dapat memberikan suatu opsi atau pilihan, yang berupa pilihan baik dan pilihan yang terpaksa tidak baik. Ketika lingkungan menjajakan jual belinya tersebut, disinilah yang menjadi akar permasalahan, mengapa seorang mahasiswa memilih barang yang ini, atau memilih barang yang itu. Semua itu tergantung dan berdasarkan pada pemahaman dan cara berfikir mereka yang terwujud dalam bentuk selera mahasiswa. Kemudian setelah periode pendidikan berakhir, dan kini mahasiswa akan memasuki suatu era baru, yakni dunia luar atau lebih tepatnya dunia kerja. Dalam periode ini, terjadi transformasi atau perubahan jabatan seorang mahasiswa, yang semula merupakan sebuah objek, kini berangsur-angsur beralih menjadi sebuah subjek. Dalam hal ini, mahasiswa siap untuk mengimplementasikan setiap apa yang telah diketahuinya, dipelajarinya, dan yang telah diusahakannya selama duduk di periode pendidikan. Kini status mereka menjadi sebuah subjek yang berperan dalam pembangunan negara dimasa kini untuk masa mendatang.

            Untuk mengikuti semua alur tersebut, seorang mahasiswa harus paham mengenai dirinya sebagai objek pendidikan. Sebelum membahas mengenai mahasiswa sebagai objek di dalam periode pendidikan, terlebih dahulu kita dapat mengelompokkan mahasiswa dalam suatu kategori tertentu. Berdasarkan cara berfikirnya dan kenyataan di lapangan, mahasiswa dibagi menjadi tiga objek, yaitu mahasiswa yang ideal, mahasiswa yang semi ideal, dan mahasiwa yang tidak ideal.

Objek pertama adalah mahasiswa yang ideal. Dalam realita, mereka adalah orang-orang yang mempunyai tekat untuk menuntut ilmu dan berusaha sebaik-baiknya menerapkan ilmunya agar mendapatkan hasil terbaik dari studinya serta berharap dapat mengaplikasikannya. Mereka juga aktif dalam berorganisasi, sehingga nantinya akan membuat mereka lebih cakap dan mahir dalam bersosialisasi dan belajar mengenal lingkungannya. Adapun sikap yang tampak dari mahasiswa yang ideal yaitu: tutur katanya sopan, disiplin, mengerjakan tugas tepat waktu dan lainnya.

 Objek kedua adalah mahasiswa yang semi ideal. Dalam realita, mereka adalah orang-orang yang termasuk dalam kategori mahasiswa ideal, namun yang menjadi masalahnya yaitu mereka sering menerapkan prinsip cara belajar yang salah, yakni pergi ke kampus hanya untuk menuntut ilmu belaka, atau perkataan jenaka yang sering dilontarkan yakni pagi hari, pergi ke kampus, sore hari, pulang ke rumah. Mereka tidak berusaha mencari pilihan alternatif peluang ilmu yang lain baik untuk mengasah kemampuan psikomotoriknya ataupun kemampuan lainnya yang perlu dilatih. Tak jarang mereka mengabaikan kehidupan di luar kampus, seperti tidak mengikuti organisasi, tidak mudah bergaul, penyendiri dan lain sebagaimya.

 Sedangkan objek ketiga yakni mahasiswa yang tidak ideal. Dalam realita, mereka adalah orang-orang yang hanya mempunyai sedikit motivasi dalam belajar. Kebanyakan dari mereka lebih mengutamakan kehidupan luar dari pada harus menuntut ilmu. Mereka juga sering bermalas-malasan dari pada menghabiskan waktu mereka untuk berorganisasi. Mahasiswa seperti ini, sangat membutuhkan dukungan dan semangat dari berbagai pihak untuk memperbaiki kembali niat mereka yang salah.

Sebagai objek, mahasiswa merupakan makhluk yang lemah dan jiwa mereka bagaikan terombang-ambing dalam arus kuat lingkungannya. Seorang mahasiswa bisa dikatakan mudah dipengaruhi oleh hasutan-hasutan lingkungannya, baik di lingkungan tempat tinggal ataupun di lingkungan kampus. Menyinggung kembali pada pernyataan sebelumnya yang mengatakan bahwa universitas dalam artian lingkungannya dapat mempengaruhi karakter dan sikap mahasiswanya, terkadang dalam keadaan yang demikian akan muncul suatu dilema terhadap mahasiswa yang membuat mereka harus menentukan pilihan jalan yang tepat. Lingkungan mereka akan sangat berpengaruh dalam menentukan pilihan yang tepat maupun yang tidak tepat. Pilihan-pilihan itu tidak sepenuhnya tergantung dari rasionalitas mahasiswa. Terdapat dua faktor utama yang nantinya akan mempengaruhi seorang mahasiswa ketika hendak memasuki dunia perkuliahan, tepatnya sebelum mereka menentukan pilihan-pilihan jalan yang akan dilaluinya.

Faktor pertama yakni adanya dukungan yang kuat dari keluarga. Keluarga adalah segala-galanya. Anggota keluarga, terlebih Ayah dan Ibu akan memberikan dorongan dan semangat kepada anaknya agar senantiasa berbuat baik dan bertindak semestinya selama mengemban ilmu di setiap jenjang pendidikan. Misalkan saja, orangtua selalu menyuruh anaknya untuk rajin belajar agar nantinya menjadi orang yang sukses dan dapat membahagiakan orangtua serta menaikkan derajat keluarga. Jika dorongan, motivasi dan ajaran luhur yang diberikan orangtua kepada anak mampu diserap baik oleh anaknya, maka lingkungan pun tidak akan mudah menggoyahkan prinsipnya dalam menentukan pilihan yang benar, yaitu menjadi mahasiswa yang ideal.

Faktor kedua yakni lingkungan itu sendiri. Jika motivasi dan ajaran orangtua mampu mempengaruhi sikap seorang mahasiswa, maka lingkungan pun juga akan berperan selanjutnya. Lingkungan sebenarnya bersifat relatif, tergantung dari persepsi seseorang. Seorang mahasiswa yang melihat lingkungannya dari sisi positif,  dapat berfikir bahwa lingkungannya dapat berperan sebagai media interaktif dalam mengembangkan keahliannya dan sebagai teman untuk mengasah kemampuan sosialisasi yang sehat. Dan malah sebaliknya, seorang mahasiswa yang melihat lingkungannya dari sisi negatif dalam realitanya, namun menjadi sisi positif di pikirannya, sehingga pada akhirnya lingkungan akan mempengaruhinya juga.

Suatu masalah akan muncul ketika eksistensi dari faktor yang bertindak sebagai pemicunya diakui dari suatu fenomena yang terjadi. Faktor yang dominan akan mempengaruhi faktor lain sehingga akan menguasainya. Faktor-faktor itu (faktor keluarga dan lingkungan) akan menggiring mahasiswa kepada suatu pilihan-pilihan kategori mahasiswa, yakni memilih mahasiswa ideal, mahasiswa semi ideal, maupun mahasiswa tidak ideal. Pengaruh dari faktor-faktor yang ada akan memandu mahasiswa pada suatu pilihan-pilihan, yang akan menyebabkan suatu dilema sehingga akan memunculkan suatu masalah serius mengenai pilihan apa yang tepat dan pilihan apa yang tidak tepat. Masalah yang terjadi, pasti selalu diikuti oleh respon penyelesaiannya. Dengan adanya usaha untuk menyelesaikan suatu masalah, maka akan didapatkan suatu hasil atau manfaat dalam berbagai konteks yang dapat dirasakan. Jika ditelaah lebih lanjut, masalah ini bersumber pada pertanyaan: bagaimana mengarahkan mahasiswa ketika mereka sedang berada di area kritisnya yakni suatu persimpangan jalan, dengan memilih jalan yang benar sehingga mereka akan selamat sampai tujuan? Bagi mahasiswa yang terkategori sebagai mahasiswa yang ideal, sudah pasti mereka akan mempunyai keinginan yang kuat dan cita-cita tinggi yang hendak dicapai. Namun bagaimana dengan mereka yang terkategori mahasiswa yang semi ideal ataupun yang tidak ideal? Mungkin mereka akan merasa kesulitan dalam menyelesaikan masalah-masalah yang menghadang didepannya. Mahasiswa tersebut sebenarnya terbentuk akibat tidak adanya penyaluran energi yang berlebih ke arah yang positif dari seluruh energi yang digunakan selama periode pendidikan. Energi yang berlebih tersebut cenderung dimanfaatkan atas dasar inisiatif mahassiwa itu sendiri, dan biasanya inisiatif itu mengarah kepada hal negatif.  Untuk mengatasinya perlu adanya suatu pengalihan energi yang berlebih tersebut dalam bentuk suatu kegiatan yang bermanfaat, misalnya saja mengikuti organisasi, olahraga, perkumpulan, ataupun kegiatan-kegiatan lain, sehingga energi tersebut tidak dipakai untuk hal-hal yang tidak berguna dan membuang-buang waktu, pikiran dan tenaga. Tak lupa pula, sebagai mahasiswa, kita harus menanamkan sikap saling mengingatkan kesalahan dan menyampaikan kebaikan satu sama lain, memberi motivasi yang membangun, serta peduli terhadap kesusahan orang lain, sehingga ketika kita mendapati seseorang, baik itu sahabat dekat, teman sebaya ataupun kakak-kakak senior mengalami kesulitan, dengan hati yang terbuka dan uluran tangan yang ikhlas, kita dapat menolong dan membantu menyelesaikan atau paling tidak meringankan masalah mereka secara bersama-sama.

Mahasiswa sesungguhnya bebas memilih jalan hidupnya sendiri. Namun menjadi pertanyaan apakah mereka (sekali lagi) akan memilih jalan yang tepat dalam bentuk interaksi yang positif dengan lingkungan, sehingga tercapainya mahasiswa yang ideal, yang nantinya akan mengantarkan mereka kepada pintu kesuksesan. Atau sebaliknya memilih jalan yang salah, dalam bentuk interaksi negatif dengan lingkungan, yang malah terjerumus menjadi mahasiswa yang tidak ideal, yang tentunya akan menghambat mereka menuju pintu kesuksesan itu. Oleh karena itu, seorang mahasiswa harus selektif dan bijak dalam menentukan dan memilih-milih setiap isu-isu lingkungan yang terjadi, dan jangan sampai lingkungan menjadikan mahasiswa itu sebagai budak yang berlarut-larut dalam dilema tanpa kepastian. Gunakanlah dengan sebaik-baiknya energi yang berlebih untuk hal-hal yang berguna bagi diri sendiri dan orang lain. Janganlah saling tidak peduli dan acuh tak acuh terhadap kesulitan-kesulitan yang orang lain rasakan, dan marilah kita kembangkan dan bangun rasa saling menghargai setiap kepentingan orang lain tentunya dalam batas-batas tertentu pula.

Namun terlepas dari semua itu, dengan adanya dukungan yang kuat dari keluarga, lingkungan yang sehat secara fisik dan psikis, serta kepribadian yang baik, justru akan membawa mahasiswa itu menuju suatu titik puncak kemenangan, yakni berhasil memperoleh gelar sarjana. Ketika mahasiswa beranjak meninggalkan periode pendidikan menuju suatu periode mandiri di dunia luar, tentunya bagi setiap mahasiswa akan muncul harapan besar yaitu tidak hanya mendapatkan gelar sarjana saja, namun sekaligus sebagai sarjana yang berhasil memperoleh ilmu yang memadai, mempunyai kepribadian yang matang serta bertindak profesional dalam menerapkan ilmunya demi membanggakan kedua orangtua khususnya dan demi kesejahteraan negara umumnya.
No comments

No comments :

Post a Comment