Analisa Kasus Sosial Budaya
Ujian Tengah
Semester
Ilmu Sosial dan
Budaya Dasar (ISBD)
Nama
: Bris Fernando
NIM.TM
: 1202228.2012
Jurusan
:Teknik Elektronika
Manusia sebagai
mahkluk individu dan makhluk sosial
Kasus I
KASUS 1
Sekelompok siswa SMK di sebuah kota yang terletak di sebelah timur Jakarta
berasal dari keluarga kalangan tas yang baik-baik. Dua diantara mereka
pulang-pergi ke sekolah mengendarai kendaraan yang terbilang mewah. Sejak
semester 1 di kelas 1,delapan siswa ini terus menerus terlibat dalam kenakalan
remaja, seperti membolos, terlambat atau tidak masuk sekolah dengan memakai
berbagai alasan untuk menipu gurunya, meminum-minuman keras, kebut-kebutan di
jalan raya, melakukan pencurian ringan, mencoret-coret bahkan merusak fasilitas
umum.
Mereka melakukan tindakannya sangat hati-hati ehingga jarang berurusan dengan
polisi. Di mata sebagian masyarakat, kelompok siswa seperti ini disebut sebagai
“anak baik-baik” dan mempunyai masa depan yang cerah. Diakhir remajanya,
sebagian dari mereka dapat melanjutkan dan menyelesaikan pendidikan di
perguruan tinggi.
KASUS 2
Pada sekolah yang sama, enam orang siswa dari kelas yang berbeda berasal dari
keluarga kelas bawah (miskin). Kenakalan mereka tidak jauh berbeda dengan
kelompok pada KASUS 1. Mereka mabuk-mabukkan, berkelahi/tawuran, mengganggu
gadis di jalanan, melakukan pencurian ringan, mencoret dan merusak fasilitas
umum, dan mereka sering berurusan dengan polisi. Masyarakat menilai kelompok
siswa ini sebagai “remaja yang bermasalah” atau “kelompok remaja nakal” bahkan
diberi julukan “kelompok remaja yang menuju ke dunia kejahatan”.
Empat diantara mereka tidak dapat menyelesaikan pendidikan SMK-nya dan terjerat
dalam dunia penyimpangan; ada yang dipenjara karena pembunuhan; ada yang
bernasib sama karena mencuri; ada yang menjadi penjudi; bahkan satu diantaranya
hilang tak tahu rimbanya setelah setahun lebih menjadi preman di terminal di
kota itu.
PEMBAHASAN
Dalam era globalisasi, perkembangan IPTEK meningkat dengan pesat. Dampak
dari eksistensi IPTEK dapat berupa pengaruh yang menguntungkan maupun yang
merugikan. Dengan adanya IPTEK, pola pikir masyarakat sedikit demi sedikit
mulai berubah. Apalagi di zaman yang terbuka ini, kemajuan teknologi yang amat
pesat telah membawa berbagai macam pengaruh baik dari dalam maupun dari luar.
Semua pengaruh itu, begitu mudah hadir ditengah-tengah kita. Lambat laun tanpa
disadari, kita telah mengadopsi nilai-nilai baru tersebut. Pengaruh itu
berdampak pada terciptanya perilaku sosial dan adat istiadat yang baru diantara
golongan masyarakat tersebut, disamping menggeser nilai-nilai dan norma-norma
sosial yang lama.
Contoh:
Penemuan telepon telah mengubah pola dan cara berkomunikasi masyarakat.
Dulu, masyarakat yang jaraknya berjauhan tidak dapat berkomunikasi secara
langsung dan membutuhkan waktu yang cukup lama. Namun, dengan adanya telepon,
masyarakat bisa berkomunikasi pada saat itu juga, bahkan dengan yang jaraknya
berjauhan serta tanpa harus bertatap muka.
Bagi masyarakat yang tidak mampu beradaptasi bahkan bersaing di kancah
perkembangan IPTEK, mereka cenderung akan teringgal oleh masyarakat lain yang
mampu beradaptasi. Masalah ini tentunya kan menciptakan suatu kesenjangan sosial.
Masalah kesenjangan sosial di masyarakat menjadi masalah yang pelik yang perlu
dibahas. Terdapat jurang pemisah antara si “kaya” dengan si “miskin”.
Kesenjangan sosial akan berdampak pada perubahan tingkah laku individu atau
kelompok tertentu sehingga menimbulkan permasalahan sosial.
Alasan penulis
mengangkat kasus diatas adalah sebagai berikut.
Secara kodrati, manusia merupakan mahkluk monodualis. Artinya, manusia
sebagai mahkluk individu dan juga berperan sebagai makhluk sosial. Sebagai
mehkluk individu, manusia memilki keunika-keunikan tersendiri yang berbeda
dengan manusia lain, terdiri atas unsur jasmani dan rohani yang tidak dapat
dipisahkan, dan berusaha mengembangkan kemampuan pribadinya guna memenuhi
hakikar individualitasnya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya)
Setiap individu yang ada pasti akan berinteraksi dengan individu lainnya.
Ketika individu dengan kesamaan kepentingan dan memiliki kesadaran bersama
berkumpul, maka akan terbentuk kelompok. Kelompok merupakan perwujudan dari konsep
manusia sebagai mahkluk sosial. Sedangkan individu-individu yang berinteraksi
sehingga membentuk kelompok merupakan perwujudan dari konsep manusia sebagai
mahkluk individu.
Setiap masyarakat mempunyai tujuan-tujuan kebudayaannya, dan memilki cara-cara
yang diperkenankan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Sebagai akibat dari
proses sosialisasi, individu-indivdu belajar mengenali tujuan-tujuan
kebudayaannya. Selain itu, mereka juag mempelajari cara-cara untuk mencapai
tujuan-tujuan yang selaras dengan kebudayaannya. Apabila kesempatan untuk
mencapai tujuan-tujuan ini tidak ada, individu-individu akan mencari
alternatif. Perilaku alternatifnya kemungkinan akan menimbulkan penyimpangan
sosial. Perilaku menyimpang dapat berlangsung dalam kelompok sebagai
penyimpangan kelompok.
Eksistensi dari penyimpangan kelompok yang terjadi, akan terlihat jika
adanya stereotip masyarakat terhadap penyimpangan tersebut. Stereotip adalah
penilaian terhadap seseorang hanya berdasarkan persepsi terhadap kelompok
dimana orang tersebut dapat dikategorikan. Stereotip merupakan jalan pintas
pemikiran yang dilakuakan secara intuitif oleh manusia untuk menyederhanakan
hasl-hal yang kompleks dan membantu dalam pengambilan keputusan secara cepat.
Namun, stereotip dapat berupa prasangka positif dan juga negatif, dan
kadang-kadang dijadikan alasan untuk melakukan tindakan diskriminasi. Stereotip
jarang sekali akurat, biasanya hanya memiliki sedikit dasar yang benar, atau
bahkan sepenuhnya dikarang-karang.
KOMENTAR
Dari dua kasus yang diangkat diatas, permasalahan tersebut sebenarnya
berkaitan dengan stereotip masyarakat terhadap kelompok tertentu. Dalam hal
ini, masyarakat memberikan kesan pertama dari sudut pandang yang berbeda antara
kelompok remaja yang tergolong kaya dengan remaja yang tergolong miskin. Dalam
kasus tersebut, juga terjadi dilema anatara kepentingan individu oleh kelompok
remaja dengan kepentingan sosial oleh masyarakat.
Sebenarnya, tingkat kenakalan kedua kelompok remaja tersebut terbilang sama,
namun hanya berbeda dari sudut pandang masyarakat terhadap keduanya.
Berdasarkan dua kasus diatas, sudut pandang masyarakat didasarkan pada adanya
faktor yang memicu terjadinya penyimpangan sosial oleh kelompok remaja
tersebut. Faktor pendidikan dan faktor ekonomi/ kelas sosial mendominasi
penyebab terjadinya penyimpangan sosial dari kasus diatas. Tinggi rendahnya
pendidikan akan mempengaruhi faktor ekonomi, sehingga menciptakan kelas-kelas
sosial, dan pada akhirnya akan berdampak pada stereotip masyarakat.
Jika dilihat dari segi pendidikan, remaja yang terbilang kaya raya,
stereotip yang terlontar dari masyarakat adalah remaja yang
berpendidikan. Dengan ekonomi yang bagus, para remaja tersebut mampu bersekolah
sehingga mendapat pendidikan yang layak dan berkualitas. Dalam pikiran sebagian
orang, setiap orang yang berpendidikan pasti mempunyai etika dan kepribadian
yang baik. Oleh karena itu, sudah sewajarnya masyarakat menilai kelompok remaja
itu sebagai “remaja yang baik-baik”. Dengan pendidikan yang dimilikinya,
kelompok remaja tersebut dapat menyembunyikan kejelekan-kejelekan mereka. Pola
pikir mereka lebih terorganisir, berfikir matang, dan efisien karena dibekali
dengan pendidikan yang cukup dan memadai, sehingga memudahkan mereka dalam
memanipulasi setiap konsekuensi yang terjadi akibat perbuatan mereka. Hal ini
menjadikan stereotip terhadap mereka terkesan baik di mata masyarakat.
Sedangkan untuk remaja yang berasal dari keluarha kelas bawah, stereotip
masyarakat adalah remaja yang tidak berpendidikan. Dalam pikiran sebagian
orang, setiap orang yang kurang mendapat mendidikan yang layak, pasti mempunyai
etika dan kepribadian yang buruk. Hal ini sebagai alasan sebagian orang,
menilai kalangan yang berasal dari kelas bawah jika mereka melakukan perbuatan
yang menyimpang. Oleh karena itu, sudah sewajarnya, masyarakat menilai kelompok
remaja tersebut sebagai “remaja yang acak-acakan”.
Mengapa pandangan
masyarakat seperti itu?
Hal ini mungkin
disebabkan oleh pendidikan yang dimilki oleh kalangan kelas bawah yang rendah.
Kelompok remaja itu tidak sanggup menyembunyikan segala bentuk
kejelekan-kejelekan mereka karena minimnya pengetahuan yang didapat, sehingga
selalu terlihat oleh masyarakat segala tindakan menyimpang yang dilakukan. Pola
pikir mereka cenderung tergesa-gesa, berani mengambil resiko tanpa adanya
pertimbangan, dan bersikap mandiri. Satu hal lagi yang
berpengaruh terhadap perilaku menyimpang para remaja tersebut adalah karena
adanya pemberian julukan (Labelling). Keadaan tersebut menggambarkan
bagaimana suatu perilaku menyimpang seringkali menimbulkan serangkaian
peristiwa yang justru mempertegas dan meningkatkan penyimpangan. Kenyataan
menunjukan bahwa dalam keadaan tertentu pemberian cap mendorong timbulnya
penyimpangan berikutnya. Hal ini menjadikan stereotip masyarakat terhadap
mereka menjadi buruk.
Dari segi ekonomi, para remaja yang mempunyai orang tua yang kaya, mereka tidak
terlalu mengkhawatirkan persoalan keuangan. Untuk melakukan apa yang mereka
inginkan, mereka tidak perlu dipusingkan dengan masalah dimana harus
mendapatkan uang. Semuanya sudah tersedia dan serba cukup. Mereka hanya tinggal
menikmatinya saja. Kebanyakan diantara mereka memiliki masa depan yang cerah,
bahkan nantinya ada yang menjadi pemimpin atau orang-orang penting lainnya.
Lain halnya dengan remaja yang mempunyai orang tua yang melarat. Mereka harus
memikirkan bagaimana cara untuk mendapatkan uang, baik untuk biaya sekolah,
keperluan rumah, makan sehari-hari, dan masih banyak lagi. Mereka dipaksa untuk
bekerja disamping juga bersekolah demi memenuhi kebutuhan hidup. Bahkan
diantara mereka ada yang rela menghalalkan segala cara untuk mendapatkan
tujuan-tujuan tertentu. Sebagian dari mereka, ada juga yang memutuskan untuk
tidak bersekolah. Di mata masyarakat mereka terkesan tidak baik. Ada sebagian
orang menganggapnya sebagai unsur premanisme, yang cinta akan kekerasan.
Kebanyakan diantara mereka nantinya memiliki masa depan yang suram, seperti
menjadi pengganguran, perampok, pencuri dan lain sebagainya.
SOLUSI
Solusi yang
sebaiknya dilakukan unutk mengatasi permasalahan dari dua kasus diatas yakni
sebagai berikut.
a.
Kepada pemerintah sangat diwajibkan untuk meningkatkan
pemerataan pendidikan, hingga ke pelosok daerah. Pemerintah seharusnya tidak
hanya mendirikan sarana dan prasarana pendidikan yang terpusat pada daerah
tertentu. Disamping pemerataan yang tidak efisien, arus mobilitas penduduk pun
semakin tidak terkendali, yang nantinya akan menyebabkan semakin padatnya
penduduk di daerah tersebut. Dengan bertambahnya penduduk, maka kesenjangan
sosial pun juga semakin jelas telihat dan dampaknya akan semakin luas di
masyarakat. Pemerintah juga harus dapat memberikan kesempatan yang
seluas-luasnya kepada golongan masyarakat yang kurang mampu dalam mengecap
sarana dan prasarana pendidikan, seperti beasiswa bagi kalangan kurang mampu.
Pemerintah harus lebih sigap dan tanggap dalam menentukan pihak-pihak mana yang
berhak mendapatkan beasiswa, sehingga tidak terjadi penyalahgunaan hak yang
dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang tidak bertanggung jawab yang
sebenarnya sanggup membiayai pendidikannya sendiri.
b.
Pengaruh lingkungan dan teman bermain amat berpengaruh
dalam membentuk sikap yang sesuai dengan harapan masyarakat umum karena
disanalah terjadi proses belajar dan penyerapan nilai dan norma. Untuk itu,
orang tua harus bersikap selektif dalam mengawasi anaknya, baik itu dalam
pergaulannya di sekolah maupun di lingkungan sosialnya. Berikanlah bekal yang
cukup terhadap anak berupa kasih sayang, budi pekerti yang baik (dapat
berbentuk nasihat maupun contoh sikap), dan disertai pendidikan yang cukup
untuk anaknya.
c.
Mengembangkan rasa malu
Setiap anggota
masyarakat memiliki”rasa malu”¸akan tetapi dengan ukuran yang berbeda antara
satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Budaya malu berkenan dengan “harga
diri”. Harga diri akan turun jika seseorang melakukan kesalahan yang melanggar
norma-norma sosial suatu masyarakat. Masyarakat akan sangat antusias mencela
setiap anggotanya yang melakukan pelanggaran terhadap norma. Celaan itu dengan
sendirinya akan menciptakan kesadaran untuk tidak mengulangi pelanggaran
tersebut. Bila setiap perbuatan melanggar norma dicela, maka dengan sendirinya
akan timbul “budaya malu” dalam diri seseorang.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Manusia dan
Peradaban
Kasus II
RUU
KUHP
Pasal Santet Bisa Timbulkan Kegoncangan Sosial
Jakarta
- Pasal santet dalam Rancangan KUHP terus menuai kontroversi. Ada yang
mendukung tetapi ada yang menolak. Menurut anggota Komisi III DPR, Didi Irawadi
Syamsuddin, pasal ini bisa memicu kegoncangan sosial apabila diterapkan.
"Bila delik atau pasal santet dianggap sebagai delik materil, jelas akan mengundang masalah. Sebab, amat sulit untuk pembuktiannya. Bagaimana membuktikan bahwa seseorang memiliki ilmu gaib atau ilmu hitam? Apalagi bila sampai harus membuktikan apakah benar akibat perbuatan orang itu, atau santetnya, ilmu gaibnya, ilmu hitamnya, menyebabkan korban meninggal atau luka-luka?," kata Didi kepada detikcom, Kamis (21/3/2013).
Bila pasal santet itu dikategorikan sebagai delik formal, maka tak perlu dibuktikan akibat dari perbuatan org tersebut. Juga tak perlu dibuktikan apakah benar orang itu yang menyantet.
"Ini pun akan menimbulkan masalah, bahkan tak mustahil kegoncangan sosial. Sebab, seseorang bisa saja dipenjara karena tuduhan-tuduhan bisa menyantet atau tuduhan sebagai dukun santet. Bahkan kini sudah menggejala masyarakat langsung 'main hakim sendiri' terhadap orang yang dituding sebagai dukun santet," tandas politikus Partai Demokrat ini.
Oleh karena itu, pasal santet tak perlu ada atau tak usah masuk dalam RUU KUHP. Menurut Didi, kalaupun kaidah hukum pidana semacam itu dikehendaki, maka tidak perlu dimasukkan ke dalam RUU KUHP.
"Cukup diakomodasi dengan kaidah hukum pidana yang bersifat umum tentang aturan menyangkut permufakatan jahat atau adanya orang yang hendak melakukan tindak pidana," pungkas Didi.
Rancangan KUHP ini diserahkan dari pemerintah ke DPR pada Rabu (6/3) lalu. Delik santet ini diatur dalam pasal 296 Rancangan KUHP yang mengancam orang yang 'mengiklankan diri' bisa menyantet dipidana paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp 300 juta.
(asp/ndr)
"Bila delik atau pasal santet dianggap sebagai delik materil, jelas akan mengundang masalah. Sebab, amat sulit untuk pembuktiannya. Bagaimana membuktikan bahwa seseorang memiliki ilmu gaib atau ilmu hitam? Apalagi bila sampai harus membuktikan apakah benar akibat perbuatan orang itu, atau santetnya, ilmu gaibnya, ilmu hitamnya, menyebabkan korban meninggal atau luka-luka?," kata Didi kepada detikcom, Kamis (21/3/2013).
Bila pasal santet itu dikategorikan sebagai delik formal, maka tak perlu dibuktikan akibat dari perbuatan org tersebut. Juga tak perlu dibuktikan apakah benar orang itu yang menyantet.
"Ini pun akan menimbulkan masalah, bahkan tak mustahil kegoncangan sosial. Sebab, seseorang bisa saja dipenjara karena tuduhan-tuduhan bisa menyantet atau tuduhan sebagai dukun santet. Bahkan kini sudah menggejala masyarakat langsung 'main hakim sendiri' terhadap orang yang dituding sebagai dukun santet," tandas politikus Partai Demokrat ini.
Oleh karena itu, pasal santet tak perlu ada atau tak usah masuk dalam RUU KUHP. Menurut Didi, kalaupun kaidah hukum pidana semacam itu dikehendaki, maka tidak perlu dimasukkan ke dalam RUU KUHP.
"Cukup diakomodasi dengan kaidah hukum pidana yang bersifat umum tentang aturan menyangkut permufakatan jahat atau adanya orang yang hendak melakukan tindak pidana," pungkas Didi.
Rancangan KUHP ini diserahkan dari pemerintah ke DPR pada Rabu (6/3) lalu. Delik santet ini diatur dalam pasal 296 Rancangan KUHP yang mengancam orang yang 'mengiklankan diri' bisa menyantet dipidana paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp 300 juta.
(asp/ndr)
PEMBAHASAN
Masyarakat merupakan suatu populasi yang membentuk organisasi sosial yang
bersifat kompleks. Dalam organisasi sosial terdapat nilai-nilai, norma-norma,
dan pranata-pranata sosial. Dalam organsisasi sosial terdapat juga
peraturan-peraturan untuk bertingkah laku yang ke semuanya berinteraksi dalam
kehidupan mansyarakat. Meskipun nilai, norma, pranata sosial, dan peraturan
dimiliki oleh setiap kelompok masyarakat dengan tingkat peradaban berbeda,
dapat dipastikan tidak akan pernah semua anggotanya mengetahui sekaligus
menyetujuinya. Tidak mungkin semua orang akan begitu saja berprilaku sesuai
dengan nilai, norma, pranata sosial ,dan peraturan yang berlaku.
Setiap masyarakat di mana pun pasti akan mengalami perubahan dan dinamika
sosial. Perubahan dan dinamika itu merupakan akibat dari adanya interaksi
antarmanusia dan antarkelompok. Akibatnya, di antara mereka terjadi proses
saling mempengaruhi yang menyebabkan perubahan dan dinamika sosial.
Pada zaman modernisasi sekarang, ternyata masih ada masyarakat yang masih
mempertahankan kebudayaan lama, disamping seharusnya mereka dituntut sebagai
pihak yang berperan menjadi penyebab terjadinya perubahan dan dinamika sosial.
Masyarakat masih ada yang percaya dengan adanya praktek dukun santet. Praktek
yang identik dengan hal-hal yang berbau mistis ini, memang masih dipertahankan
keberadaannya oleh segelintir orang di masyarakat pada peradaban yang sudah
berkembang ini.
Alasan penulis
mengangkat kasus diatas adalah sebagai berikut.
Segala macam bentuk tindakan kejahatan, mempunyai konsekuensinya
masing-masing dalam bentuk sistem hukum yang mengaturnya. Misalnya saja
perampokkan. Perampokkan memiliki hukum pidana tertentu yang diatur dalam UU.
Namun berbeda dengan tindakan kejahatan yang dilakukan dengan modus santet.
Masalah santet khususnya bagi dukun santet, menjadi problema yang perlu dibahas
dan ditelaah lebih lanjut. Mengapa demikian?
UU yang mengatur mengenai praktek santet masih belum pasti, sehingga hukum yang
nantinya akan dijatuhkan kepada orang yang menyantet bisa dikatakan masih
terbebas dari jeratan hukum secara menyeluruh. Tetapi, tidak dapat juga
dipungkiri, jika pelaku santet harus menerima ganjaran akibat perbuatannya itu.
Pemerintah saat ini, berencana membuat UU yang mengatur hukum bagi para
pelaku-pelaku santet.
KOMENTAR
Tidak ada satu masyarakat pun di dunia ini yang statis, selelu terjadi
dinamika dan perubahan sosial dan budaya di masyarakat. Namun seiring
berjalannya waktu, yang akan menggiring suatu peradaban menuju peradaban yang
semakin maju, tidak tertutup kemungkinan kebudayaan-kebudayaan lama yang
dipakai begitu saja ditinggalkan. Perubahan kebudayaan untuk menuju suatu
kebudayaan yang baru dan yang lebih baik, memeang menjadi persoalan dalam
peradaban yang berkembang. Disamping masyarakat masih merasa nyaman memakai
kebudayaan lama, dan disisi lain juga mereka masih belum bisa menerima dan
beradaptasi dengan kebudayaan baru yang lebih kompleks.
Santet merupakan kebudayaan lama yang sekarang, masih dipakai dan diperaya.
Santet dalam pengertian umum adalah perbuatan yang dapat mencelakakan bahkan
dapat menghilangkan nyawa orang lain dari jarak jauh dan biasanya mereka
mempunyai hubungan khusus dengan setan. Santet adalah perilaku mistis yang
sulit sekali ada pembuktian konkritnya, menggunakan media dan jampi-jampi yang
hanya diketahui mereka sendiri saja. Karena santet berhubungan dengan perilaku
yang dapat mencelakakan orang lain, maka santet dapat dikatakan sebagai
tindakan kejahatan, dapat diadili pelakunya serta dapat diatur dalam UU.
Masalah utama dari kasus diatas adalah bahwasanya pembuktian terhadap para
pelaku benar atau tidaknya mereka melakukan santet,memang sukar untuk
dilakukan. Masyarakat hanya bisa menaruh curiga dan mengajukan
hipotesis-hipotesis terhadap pelaku-pelaku santet. Apabila pembuktian terhadap
pelanggaran yang telah dilakukan oleh para pelaku santet tidak ada, maka
masyarakat akan kecewa. Jika kesempatan untuk mencapai tujuan tersebut tidak
ada, maka masyarakat terpaksa mencari jalan alternatif lainnya. Alternatifnya
kemungkinan merupakan cara-cara yang tidak diperkenankan dan akan menimbulkan
penyimpangan sosial. Biasanya masyarakat akan dengan bertindak “main hakim
sendiri” kepada para pelaku yang dituding melakukan santet karena pihak
kepolisian yang menangani perkara tersebut di lapangan, tidak dapat melakukan
pembuktian langsung.
Namun dengan adanya pasal dalam UU yang mengatur tentang hukum santet, hal
ini akan menimbulkan masalah, bahkan dikhawatirkan munculnya kegoncangan sosial
di masyarakat. Sebab, seseorang bisa saja dipenjara karena tuduhan-tuduhan bisa
menyantet atau sebagai dukun santet.
SOLUSI
Adapun solusi
unutk mengatasi persoalan diatas dapat di kelompokan menjadi dua alternatif
pilihan.
1.
Jika pemerintah bersikeras tetap membuat UU tentang
santet, maka sebaiknya para pelaksana hukum terlebih dahulu harus dibekali
pengetahuan yang cukup tentang hal-hal yang berkaitan dengan santet-menyantet,
baik itu oleh pihak polisi, pengacara, hakim dan sebagainya. Pengetahuan yang
didapat tidak harus pada cara-cara lumrah seseorang melakukan santet, namun
hanya pada gejala-gejala yang muncul serta dapat diamati keberadaanya sebagai
akibat dari perbuatan santet tersebut. Misalnya, tanda-tanda seseorang terkena
santet.
2.
Sebaiknya santet tidak diberlakukan UU khusus. Tindakan
kejahatan yang berhubungan dengan santet dimasukkan saja pada UU yang mengatur
tentang tindakan kejahatan lainnya yang hampir mendekati pada santet, misalnya
penganiayaan. Hal ini disebabkan, jika seseorang telah diduga melakukan santet
kepada orang lain, maka untuk melakukan pembuktian apakah dia benar melakukan
praktek santet atau tidak sangat sulit dilakukan. Pembuktian yang hanya
mengandalkan hipotesis, tanpa adanya fakta sangat sulit diterima oleh
masyarakat, terutama bagi pihak yang mengadili nantinya.
Manusia, Keragaman
dan Kesetaraan
Kasus III
Skenario Jahat Tragedi Poso
Jakarta - Sejak
kabar kedatangan hingga kepulangan Presiden Bush, teror bom bermunculan. Ada
yang sekadar isu, dan ada pula yang naga-naganya kecelakaan. Itu terjadi di SMU
3 Setiabudi, Jakarta, di SD Baliharjo Pacitan, serta di rumah Basori, Kopral
Kepala anggota Arhanud di Malang, Jawa Timur. Kabar yang masih kabur itu tak
pelak telah menebar kepanikan, serta mencuatkan ekspresi ketakutan. Padahal
harapan dari pembuat isu itu amat 'sederhana', agar Bush dibenarkan sebagai
biang terorisme. Kabar macam ini di Jawa masihlah bisa diterima akal.
Heterogenitas manusia dan masalah, serta kompleksitas problematika yang ada
memang memberi kemungkinan tentang itu. Tujuannya bermacam-macam. Namun karena
peristiwa itu berdekatan dengan kedatangan dan kepulangan 'tamu agung' dari
negeri Paman Sam itu, maka apa yang terjadi itu memang bertujuan agar peristiwa
itu dikait-kaitkan, atau agar punya keterkaitan dengan Presiden yang mulai
turun pamor itu. Namun yang kurang masuk akal soal isu macam itu adalah
berbagai peristiwa yang terjadi di Poso. Konflik berkepanjangan di daerah ini,
baik antar-penduduk maupun warga dengan aparat keamanan, rasa-rasanya kurang
bisa diterima akal. Mengapa begitu? Karena selain bibit konflik itu sebenarnya
'tidak ada', juga dalam inventarisasi budaya, daerah ini sudah lama harmonis
dan bisa hidup saling berdampingan secara mesra. Jika dikaji, potensi konflik
di Poso tidaklah serentan Ambon yang kini sudah normal kembali. Selain
kandungan positif yang termaktub dalam adat 'pala', secara historis, ternyata
ada banyak kemungkinan Ambon untuk kembali saling baku-bunuh. Sebab dalam
persoalan tokoh sejarah daerah ini, hingga sekarang tetap belum bisa menyatu.
Patimura dan Christina Martha Tiahohu terus diperdebatkan. Dan tetap belum
ditemukan konklusi akhir. Bagi masyarakat Islam di Ambon, atau kalau diperluas
di Lease yang terdiri dari Pulau Ambon, Ina, Haruku, Saparua, Seram dan Pulau
Buru, Patimura adalah kepanjangan dari Achmad Pattimura yang meluluhlantakkan
pertahanan Belanda di gunung Verkedelleche yang ada di Pulau Saparua. Namun
bagi pemeluk Kristen di kawasan ini, maka Pattimura sang pahlawan itu adalah
Thomas Matulesi. Sedang pahlawan wanita daerah ini yang dikenal dengan nama
Christina Martha Tiahohu juga mempunyai dua nama berdasar Islam dan Kristen.
Jika nama di atas identik dengan penyebutan umat Nasrani, maka bagi yang
beragama Islam, tokoh wanita itu bernama Siti Maryam. DiaIah Srikandi kelahiran
Pulau Ina, yang melakukan pemberontakan untuk menentang penjajahan Belanda.
Sejarah yang sama tetapi tidak sama itu amatlah rumit. Sejarah itu telah
memberi kotak bagi perbedaan untuk kedua umat beragama yang berbeda ini. Dengan
begitu, jika dikaitkan dengan pengajaran di sekolah, maka terasa ada sekat yang
tidak memungkinkan untuk disatukan. Nama tokoh sejarah itu telah memberi
'identitas' terhadap agama apa yang dipeluk penyebutnya. Tapi berkat kesadaran
dari masing-masing pemeluk agama di Ambon, maka perbedaan yang sulit untuk
dipersatukan itu ternyata bisa bersatu. Ambon yang lama terlibat konflik basudara,
toh akhirnya kini reda dan kondusif. Ambon kembali manise, dan saling
berkesadaran untuk membangun daerahnya yang sempat luluhlantak akibat konflik.
Jika Ambon yang 'berbeda' saja bisa dipersatukan, mengapa Poso yang relatif tak
menyimpan budaya macam itu hingga kini harus terus menumpahkan darah? Adakah
itu karena warga Poso 'belum' berkesadaran? Atau justru karena ada 'skenario
jahat' yang dijalankan untuk 'pembunuhan karakter' tokoh tertentu untuk tujuan
tertentu pula. Sinyalemen itu terpaksa terungkapkan, karena dari hari ke hari,
di Poso masih tampak menegang. Suasana macam itu amatlah memprihatinkan. Sebab
jika tergesek sedikit saja, maka konflik yang bermuatan SARA kembali meletup
dengan korban yang tak terbayangkan. Untuk itu, agar asumsi destruktif itu
mereda dengan sendirinya, kesigapan aparat serta penuntasan konflik di daerah
ini perlulah sesegera mungkin dilakukan. Tanpa itu, maka jika kembali muncul
konflik, dengan alasan apapun penyulut konflik itu, maka pastilah tudingan yang
dialamatkan tak sekadar peristiwa itu dianggap sebagai kriminalitas yang dipicu
persoalan SARA, tetapi akan melebar kemana-mana. Terjadi politisasi, ada dalang
intelektual yang berdiri di baliknya.
PEMBAHASAN
Keragaman manusia dimaksudkan bahwa setiap manusia memiliki perbedaan.
Perbedaan itu ada karena manusia dalah makhluk individu yang setiap individu
memiliki ciri-ciri khas tersendiri. Perbedaan itu terutama ditinjau dari
sifat-sifat pribadi, misalnya sikap, watak, kelakuan, temperamen, dan hasrat.
Selain sebagai makhluk individu, manusia juga sebagai mahkluk sosial yang
membentuk suatu kelompok persekutuan hidup. Tiap kelompok persekutuan hidup
manusia juga memiliki keragaman. Masyarakat sebagai persekutuan itu berbeda dan
beragam karena ada perbedaan, misalnya dalam hal ras, suk, agama, budaya,
ekonomi, status sosial, jenis kelamin, daerah tempat itnggal, dan lain-lain.
Hal-hal demikian kita katakan sebagai unsur-unsur yang membentuk keragaman
dalam manyarakat.
Keragaman manusia baik dalam tingkat individu maupun tingkat masyarakat,
merupakan tingkat realitas atau kenyataan yang mesti kita hadapi dan alami.
Keragaman individual maupun sosial adalah implikasi dari kedudukan, baik
sebagai mahkluk individu maupun mahkluk sosial. Kita sebagai individu memiliki
perbedaan dengan seseorang sebagai individu. Demikian juga kita sebagai bagian
dari satu masyarakat memiliki perbedaan dengan masyarakat lainnya.
Dengan adanya masyarakat yang majemuk, yang menandakan adanya keragaman sehingga
mencerminkan adanya perbedaan, tidak berarti akan terlepas dari adanya
permasalahan-permasalahan sosial. Permasalahan sosial lebih mendekati pada
terjadinya konflik antar kelompok atau masyarakat. Konflik yang terjadi akibat
dari keragaman itu, cenderung dilatarbelakangi oleh perbedaan yang agaknya
sulit didamaikan atau ditemukan kesamaannya. Perbedaan tersebut antara lain
menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, dan keyakinan.
Konflik merupakan situasi wajar dalam setiap masyarakat. Bahkan tidak ada satu
masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik, entah dalam cakupan kecil
ataupun besar. Konflik di Poso juga demikian. Konflik yang terjadi akibat
perbedaan yang sulit didamaikan atau ditemukan kesamaannya yang berkaitan
dengan masalah keyakinan antar umat beragama di sana.
Alasan penulis mengangkat kasus di atas adalah sebagai
berikut.
Masalah sosial merupakan gejala-gejala (fenomena) sosial yang tidak sesuai
antara apa yang diinginkan dengan apa yan terjadi di masyarakat. Sebagai
kumpulan makhluk yang dinamis, kita senantiasa menemukan masalah-masalah di
masyarakat. Pada masyarakat Indonesia banyak dijumpai masalah-masalah sosial
yang disebabakan oleh perubahan-perubahan yang terus-menerus. Akibatnya,
terjadi kerusakan atau keretakan organisasi sosial (disorganisasi) di
masyarakat.
Masalah-masalah sosial yang terjadi di masyarakat seringkali merupakan
masalah-masalah sosial nyata dan masalah-masalah sosial laten. Masalah sosial
nyata adalah masalah sosial yang timbul sebagai akibat terjadinya
kepincangan-kepincangan yang disebabkan tidak sesuainya tindakan dengan norma
dan nilai yang berlaku dalam masyarakat, dan pada umunya masyarakat tidak
menyukai kepincangan-kepincangan tersebut. Masalah sosial nyata diakui oleh
masyarakat keberadaannya dan berkeyakinan dapat diatasi atau dihilangkan.
Sedangkan masalah sosial laten adalah masalah-masalah sosial yang terjadi di
dalam masyarakat tetapi masyarakat tidak mengakuinya sebagai masalah di tengah-tengah
mereka. Hal ini disebabkan oleh suatu ketidakberdayaan untuk mengatasinya.
Berbicara mengenai masalah sosial yang pernah terjadi di Indonesia, Poso adalah
salah satu daerah yang terletak antara teluk tomini dan teluk tolo, termasuk
dalam provinsi Sulawesi Tengah yang pernah mengalami tragedi kemanusiaan yang
mengerikan. Masalah sosial di Poso merupakan konflik kemanusiaan yang
disinyalir akibat adanya pertentangan antar agama, namun ada juga yang
mengatakan sebagai akibat dari masalah pembagian kekuasaan. Masalah sosial di
Poso erat kaitannya dengan persoalan kurangnya sikap toleransi antar umat
beragama disana. Dalam hal ini, konflik di Poso terjadi antara kaum minoritas
oleh golongan muslimin dengan kaum mayoritas oleh kaum kristiani.
Konfik berdarah di Poso hendaknya dijadikan sebagai pelajaran yang berharga
sehingga perlu adanya pengkajian terhadap masalah tersebut. Pengkajian yang
dilakukan dapat berupa menamati mempelajari gejala-gejala sosial yang tampak
seperti sumber masalahnya, dampak yang ditimbulkan, dan solusi yang terbaik
sebagai bentuk koreksi dan antisipasi sehingga diharapakan jangan sampai
peristiwa mengerikan tersebut terulang kembali.
KOMENTAR
Dalam setiap agama terdapat ajaran tentang kebenaran yang suci menurut
penganutnya masing-masing. Perbuatan-perbuatan yang arif, bijaksana dan
pengabdian terhadap penguasa alam semesta adalah pokok-pokok yang paling
penting dalam setiap ajaran agama. Oleh sebab itu, setiap pemeluk agama akan
berusaha sedapat mungkin mewujudkan ajaran agamanya tersebut dalam tingkah
lakunya sehari-hari. Ajaran agama mempunyai sanksi mutlak, artinya setiap orang
akan menerima hukuman setimpal bila melanggar ajaran-Nya dan tidak ada satu
orangpun yang akan lolos dari pengadilan Illahi. Hal ini membuat ajaran agama
sebagai media pengendalian sosial yang cukup besar pengaruhnya dalam menjaga
stablilitas masyarakat.
Keragaman yang menjadi ciri khas negara Indonesia, tidak selamanya akan
berlangsung harmonis. Adakalanya dari keragaman itu, muncul problema serius
yang berkaitan erat dengan kurangnya rasa saling menghargai dan kasih sayang
sehingga mengabaikan kesetaraan. Konflik yang terjadi di Poso mulai terjadi
pada Desember 1998 merupakan konflik budaya yang berlatar belakang kerusuhan
sentimen agama (SARA)
Jika
dilihat dari sudut pandang poltik, ada yang mengganggap tragedi di Poso
disebabkan oleh pihak-pihak provokasi yang ingin menumbuhsuburkan kepentingan
politiknya di Poso. Islam dan Kristen merupakan dua agama yang berkonflik di
Poso, dimana penyebab utama masalahnya yakni seolah-olah terlihat sebagai
permasalahan yang berkaitan dengan kurangnya toleransi antar umat beragama.
Akar permasalahan yang terjadi di Poso merupakan masalah yang ditimbulkan oleh
pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab yang sering mengacau demi kepentingan
politik mereka. Mereka menggunakan agama sebagai alasan untuk kepentingan.
Jadi, sebenarnya toleransi antar umat beragama yakni antara Islam dan Kristen
dahulunya sudah hidup saling berdampingan secara damai tanpa permusuhan.
Biasanya toleransi terjadi karena adanya keinginan-keinginan
untuk sedapat mungkin menghindarkan diri dari perselisihan yang saling
merugikan kedua belah pihak.
Seharusnya dengan adanya
keragaman akan mempercepat terjadinya suatu asimilasi. Suatu asimilasi ditandai
oleh usaha-usaha mengurangi perbedaan antara orang atau kelompok. Untuk
mengurangi perbedaan itu, asimilasi meliputi usaha-usaha mempererat kesatuan
tindakan, sikap, dan perasaan dengan memperhatikan kepentingan serta tujuan
bersama. Hasil dari prosess asimilasi adalah semakin tipisnya batas perbedaan
antara indiviud dalam suatu kelompok, atau bisa juga batas-batas
antarkelompok. Selanjutnya, indivdu melakukan (pengenalan) identifikasi diri
dengan kepentingan bersama. Artinya, menyesuaikan kemauannya dengan kemauan
kelompok. Demikian pula antara kelompok yang satu dengan kelompok lain.
Jikia dilihat
dari sudut pandang agama, dalam Al-Qur’an sudah pasti Islam merupakan agama
murni yang berasal dari Allah tanpa campur tangan dari manusia. Hal diatas yang
menjadikan golongan kristen melakukan kristenisasi terhadap golongan muslim di
Poso. Sebab, agama selain dari Islam bukan merupakan agama murni, namun
termasuk agama yang berasal dari hasil pemikiran manusia sehingga dapat
dikatakan sebagai kebudayaan. Sedangkan kebudayaan itu akan terus berkembang
dan mengalami perubahan. Sehingga dengan bermodalkan pemikiran itu, akan muncul
harapan-harapan bahkan dapat berupa paksaan (koersi) dari agama budaya yang
mereka anut agar budaya tersebut dapat berkembang dan mengalami perubahan.
Tentunya perubahan yang diharapkan yaitu perubahan yang ke arah lebih baik,
namun dengan cara-cara yang tidak diperkenankan.
SOLUSI
Adapun solusi yang dapat dikemukakan untuk mengatasi
ataupun mengantisipasi peristiwa yang terjadi di Poso yakni sebagai berikut.
·
Bagi masing-masing agama, hendaknya melakukan usaha-usaha
mengurangi perbedaan. Sebaiknya kedua belah pihak dapat menanamkan sikap-sikap
berikut.
-
toleransi antar umat beragama, saling menghargai dan
menghormati
-
menjunjung tinggi sikap terbuka dari golongan yang
berkuasa di masyarakat
-
menetapkan mempunyai musush yang sama dan meyakini
kekuatan-kekuatan masing-masing untuk menghadapi musuh tersebut. Sebenarnya
musuh mereka bukanlah antara agama Islam dan Kristen namun orang-orang rezim
yang menginginkan perpecahan (disintegrasi) untuk urusan politik mereka
-
menghindari dari prasangka negatif terhadap pengaruh
kebudayaan masing-masing
-
mengusahakan tercapainya akulturasi.
·
Berdasarkan ajaran agama yang dianut, sebaiknya kedua
belah pihak berusaha mengembangkan rasa takut. Perasaan takut akan mengarah
seseorang untuk tidak melakukan perbuatan yang dinilai mengandung resiko.
Dengan demikian, orang akan berkelakuan baik dan taat pada tata kelakuan atau
adat istiadat sebab sadar bahwa perbuatan yang menyimpang dari norma-norma itu
akan berakibat tidak baik bagi dirinya maupun orang lain di sekitarnya. Rasa
takut juga diajarkan dalam beragama. Agama mengajarkan bahawa semua perbuatan
yang menyimpang akan mendapat ganjaran (hukuman) yang setimpal di
akhirat.
·
Untuk mengantisipasi kembali terjadinya konflik
berkepanjangan di Poso, pemerintah harus memperkuat keamanan di sekitar Poso.
Untuk mengatasi konflik tersebut pihak pemerintah harus menyelidiki siapakah
dalang dibalik peristiwa Poso. Dan juga mengusahakan pemulihan kembali
segi-segi kehidupan di tanah Poso pasca konflik, misalnya aspek ekonomi dengan
membangun kembali industri kecil dan menengah yang sempat lumpuh akibat konlik
yang terjadi di Poso.
REFERENSI
M. Idianto.2004.SOSIOLOGI.Erlangga:Jakarta.
http://news.detik.com/pasal-santet-bisa-timbulkan-kegoncangan-sosial diakses tanggal 3 April 2013.
http://news.detik.com/skenario-jahat-tragedi-poso diakses tanggal 30 Maret 2013.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment