Analisa Kasus Sosial Budaya


Analisa Kasus Sosial Budaya


Ujian Tengah Semester
Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (ISBD)

Nama               : Bris Fernando
NIM.TM         : 1202228.2012
Jurusan            :Teknik Elektronika


Manusia sebagai mahkluk individu dan makhluk sosial
Kasus I
KASUS 1
Sekelompok siswa SMK di sebuah kota yang terletak di sebelah timur Jakarta berasal dari keluarga kalangan tas yang baik-baik. Dua diantara mereka pulang-pergi  ke sekolah mengendarai kendaraan yang terbilang mewah. Sejak semester 1 di kelas 1,delapan siswa ini terus menerus terlibat dalam kenakalan remaja, seperti membolos, terlambat atau tidak masuk sekolah dengan memakai berbagai alasan untuk menipu gurunya, meminum-minuman keras, kebut-kebutan di jalan raya, melakukan pencurian ringan, mencoret-coret bahkan merusak fasilitas umum.
            Mereka melakukan tindakannya sangat hati-hati ehingga jarang berurusan dengan polisi. Di mata sebagian masyarakat, kelompok siswa seperti ini disebut sebagai “anak baik-baik” dan mempunyai masa depan yang cerah. Diakhir remajanya, sebagian dari mereka dapat melanjutkan dan menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi.

KASUS 2
            Pada sekolah yang sama, enam orang siswa dari kelas yang berbeda berasal dari keluarga kelas bawah (miskin). Kenakalan mereka tidak jauh berbeda dengan kelompok pada KASUS 1. Mereka mabuk-mabukkan, berkelahi/tawuran, mengganggu gadis di jalanan, melakukan pencurian ringan, mencoret dan merusak fasilitas umum, dan mereka sering berurusan dengan polisi. Masyarakat menilai kelompok siswa ini sebagai “remaja yang bermasalah” atau “kelompok remaja nakal” bahkan diberi julukan “kelompok remaja yang menuju ke dunia kejahatan”.
            Empat diantara mereka tidak dapat menyelesaikan pendidikan SMK-nya dan terjerat dalam dunia penyimpangan; ada yang dipenjara karena pembunuhan; ada yang bernasib sama karena mencuri; ada yang menjadi penjudi; bahkan satu diantaranya hilang tak tahu rimbanya setelah setahun lebih menjadi preman di terminal di kota itu.

PEMBAHASAN
Dalam era globalisasi, perkembangan IPTEK meningkat dengan pesat. Dampak dari eksistensi IPTEK dapat berupa pengaruh yang menguntungkan maupun yang merugikan. Dengan adanya IPTEK, pola pikir masyarakat sedikit demi sedikit mulai berubah. Apalagi di zaman yang terbuka ini, kemajuan teknologi yang amat pesat telah membawa berbagai macam pengaruh baik dari dalam maupun dari luar. Semua pengaruh itu, begitu mudah hadir ditengah-tengah kita. Lambat laun tanpa disadari, kita telah mengadopsi nilai-nilai baru tersebut. Pengaruh itu berdampak pada terciptanya perilaku sosial dan adat istiadat yang baru diantara golongan masyarakat tersebut, disamping menggeser nilai-nilai dan norma-norma sosial yang lama.
Contoh:
Penemuan telepon telah mengubah pola dan cara berkomunikasi masyarakat. Dulu, masyarakat yang jaraknya berjauhan tidak dapat berkomunikasi secara langsung dan membutuhkan waktu yang cukup lama. Namun, dengan adanya telepon, masyarakat bisa berkomunikasi pada saat itu juga, bahkan dengan yang jaraknya berjauhan serta tanpa harus bertatap muka.
Bagi masyarakat yang tidak mampu beradaptasi bahkan bersaing di kancah perkembangan IPTEK, mereka cenderung akan teringgal oleh masyarakat lain yang mampu beradaptasi. Masalah ini tentunya kan menciptakan suatu kesenjangan sosial. Masalah kesenjangan sosial di masyarakat menjadi masalah yang pelik yang perlu dibahas. Terdapat jurang pemisah antara si “kaya” dengan si “miskin”. Kesenjangan sosial akan berdampak pada perubahan tingkah laku individu atau kelompok tertentu sehingga menimbulkan permasalahan sosial.
Alasan penulis mengangkat kasus diatas adalah sebagai berikut.
Secara kodrati, manusia merupakan mahkluk monodualis. Artinya, manusia sebagai mahkluk individu dan juga berperan sebagai makhluk sosial. Sebagai mehkluk individu, manusia memilki keunika-keunikan tersendiri yang berbeda dengan manusia lain, terdiri atas unsur jasmani dan rohani yang tidak dapat dipisahkan, dan berusaha mengembangkan kemampuan pribadinya guna memenuhi hakikar individualitasnya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya)
            Setiap individu yang ada pasti akan berinteraksi dengan individu lainnya. Ketika individu dengan kesamaan kepentingan dan memiliki kesadaran bersama berkumpul, maka akan terbentuk kelompok. Kelompok merupakan perwujudan dari konsep manusia sebagai mahkluk sosial. Sedangkan individu-individu yang berinteraksi sehingga membentuk kelompok merupakan perwujudan dari konsep manusia sebagai mahkluk individu.

            Setiap masyarakat mempunyai tujuan-tujuan kebudayaannya, dan memilki cara-cara yang diperkenankan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Sebagai akibat dari proses sosialisasi, individu-indivdu belajar mengenali tujuan-tujuan kebudayaannya. Selain itu, mereka juag mempelajari cara-cara untuk mencapai tujuan-tujuan yang selaras dengan kebudayaannya. Apabila kesempatan untuk mencapai tujuan-tujuan ini tidak ada, individu-individu akan mencari alternatif. Perilaku alternatifnya kemungkinan akan menimbulkan penyimpangan sosial. Perilaku menyimpang dapat berlangsung dalam kelompok sebagai penyimpangan kelompok.
Eksistensi dari penyimpangan kelompok yang terjadi, akan terlihat jika adanya stereotip masyarakat terhadap penyimpangan tersebut. Stereotip adalah penilaian terhadap seseorang hanya berdasarkan persepsi terhadap kelompok dimana orang tersebut dapat dikategorikan. Stereotip merupakan jalan pintas pemikiran yang dilakuakan secara intuitif oleh manusia untuk menyederhanakan hasl-hal yang kompleks dan membantu dalam pengambilan keputusan secara cepat. Namun, stereotip dapat berupa prasangka positif dan juga negatif, dan kadang-kadang dijadikan alasan untuk melakukan tindakan diskriminasi. Stereotip jarang sekali akurat, biasanya hanya memiliki sedikit dasar yang benar, atau bahkan sepenuhnya dikarang-karang.

KOMENTAR
Dari dua kasus yang diangkat diatas, permasalahan tersebut sebenarnya berkaitan dengan stereotip masyarakat terhadap kelompok tertentu. Dalam hal ini, masyarakat memberikan kesan pertama dari sudut pandang yang berbeda antara kelompok remaja yang tergolong kaya dengan remaja yang tergolong miskin. Dalam kasus tersebut, juga terjadi dilema anatara kepentingan individu oleh kelompok remaja dengan kepentingan sosial oleh masyarakat.
            Sebenarnya, tingkat kenakalan kedua kelompok remaja tersebut terbilang sama, namun hanya berbeda dari sudut pandang masyarakat terhadap keduanya. Berdasarkan dua kasus diatas, sudut pandang masyarakat didasarkan pada adanya faktor yang memicu terjadinya penyimpangan sosial oleh kelompok remaja tersebut. Faktor pendidikan dan faktor ekonomi/ kelas sosial mendominasi penyebab terjadinya penyimpangan sosial dari kasus diatas. Tinggi rendahnya pendidikan akan mempengaruhi faktor ekonomi, sehingga menciptakan kelas-kelas sosial, dan pada akhirnya akan berdampak pada stereotip masyarakat.
Jika dilihat dari segi pendidikan, remaja yang terbilang kaya raya, stereotip yang terlontar dari masyarakat  adalah remaja yang berpendidikan. Dengan ekonomi yang bagus, para remaja tersebut mampu bersekolah sehingga mendapat pendidikan yang layak dan berkualitas. Dalam pikiran sebagian orang, setiap orang yang berpendidikan pasti mempunyai etika dan kepribadian yang baik. Oleh karena itu, sudah sewajarnya masyarakat menilai kelompok remaja itu sebagai “remaja yang baik-baik”. Dengan pendidikan yang dimilikinya, kelompok remaja tersebut dapat menyembunyikan kejelekan-kejelekan mereka. Pola pikir mereka lebih terorganisir, berfikir matang, dan efisien karena dibekali dengan pendidikan yang cukup dan memadai, sehingga memudahkan mereka dalam memanipulasi setiap konsekuensi yang terjadi akibat perbuatan mereka. Hal ini menjadikan stereotip terhadap mereka terkesan baik di mata masyarakat.
Sedangkan untuk remaja yang berasal dari keluarha kelas bawah, stereotip masyarakat adalah remaja yang tidak berpendidikan. Dalam pikiran sebagian orang, setiap orang yang kurang mendapat mendidikan yang layak, pasti mempunyai etika dan kepribadian yang buruk. Hal ini sebagai alasan sebagian orang, menilai kalangan yang berasal dari kelas bawah jika mereka melakukan perbuatan yang menyimpang. Oleh karena itu, sudah sewajarnya, masyarakat menilai kelompok remaja tersebut sebagai “remaja yang acak-acakan”.
Mengapa pandangan masyarakat seperti itu?
Hal ini mungkin disebabkan oleh pendidikan yang dimilki oleh kalangan kelas bawah yang rendah. Kelompok remaja itu tidak sanggup menyembunyikan segala bentuk kejelekan-kejelekan mereka karena minimnya pengetahuan yang didapat, sehingga selalu terlihat oleh masyarakat segala tindakan menyimpang yang dilakukan. Pola pikir mereka cenderung tergesa-gesa, berani mengambil resiko tanpa adanya pertimbangan, dan bersikap mandiri.    Satu hal lagi yang berpengaruh terhadap perilaku menyimpang para remaja tersebut adalah karena adanya pemberian julukan (Labelling). Keadaan tersebut menggambarkan bagaimana suatu perilaku menyimpang seringkali menimbulkan serangkaian peristiwa yang justru mempertegas dan meningkatkan penyimpangan. Kenyataan menunjukan bahwa dalam keadaan tertentu pemberian cap mendorong timbulnya penyimpangan berikutnya. Hal ini menjadikan stereotip masyarakat terhadap mereka menjadi buruk.
            Dari segi ekonomi, para remaja yang mempunyai orang tua yang kaya, mereka tidak terlalu mengkhawatirkan persoalan keuangan. Untuk melakukan apa yang mereka inginkan, mereka tidak perlu dipusingkan dengan masalah dimana harus mendapatkan uang. Semuanya sudah tersedia dan serba cukup. Mereka hanya tinggal menikmatinya saja. Kebanyakan diantara mereka memiliki masa depan yang cerah, bahkan nantinya ada yang menjadi pemimpin atau orang-orang penting lainnya.
            Lain halnya dengan remaja yang mempunyai orang tua yang melarat. Mereka harus memikirkan bagaimana cara untuk mendapatkan uang, baik untuk biaya sekolah, keperluan rumah, makan sehari-hari, dan masih banyak lagi. Mereka dipaksa untuk bekerja disamping juga bersekolah demi memenuhi kebutuhan hidup. Bahkan diantara mereka ada yang rela menghalalkan segala cara untuk mendapatkan tujuan-tujuan tertentu. Sebagian dari mereka, ada juga yang memutuskan untuk tidak bersekolah. Di mata masyarakat mereka terkesan tidak baik. Ada sebagian orang menganggapnya sebagai unsur premanisme, yang cinta akan kekerasan. Kebanyakan diantara mereka nantinya memiliki masa depan yang suram, seperti menjadi pengganguran,  perampok, pencuri dan lain sebagainya.


SOLUSI
Solusi yang sebaiknya dilakukan unutk mengatasi permasalahan dari dua kasus diatas yakni sebagai berikut.
a.       Kepada pemerintah sangat diwajibkan untuk meningkatkan pemerataan pendidikan, hingga ke pelosok daerah. Pemerintah seharusnya tidak hanya mendirikan sarana dan prasarana pendidikan yang terpusat pada daerah tertentu. Disamping pemerataan yang tidak efisien, arus mobilitas penduduk pun semakin tidak terkendali, yang nantinya akan menyebabkan semakin padatnya penduduk di daerah tersebut. Dengan bertambahnya penduduk, maka kesenjangan sosial pun juga semakin jelas telihat dan dampaknya akan semakin luas di masyarakat. Pemerintah juga harus dapat memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada golongan masyarakat yang kurang mampu dalam mengecap sarana dan prasarana pendidikan, seperti beasiswa bagi kalangan kurang mampu. Pemerintah harus lebih sigap dan tanggap dalam menentukan pihak-pihak mana yang berhak mendapatkan beasiswa, sehingga tidak terjadi penyalahgunaan hak yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang tidak bertanggung jawab yang sebenarnya sanggup membiayai pendidikannya sendiri.

b.      Pengaruh lingkungan dan teman bermain amat berpengaruh dalam membentuk sikap yang sesuai dengan harapan masyarakat umum karena disanalah terjadi proses belajar dan penyerapan nilai dan norma. Untuk itu, orang tua harus bersikap selektif dalam mengawasi anaknya, baik itu dalam pergaulannya di sekolah maupun di lingkungan sosialnya. Berikanlah bekal yang cukup terhadap anak berupa kasih sayang, budi pekerti yang baik (dapat berbentuk nasihat maupun contoh sikap), dan disertai pendidikan yang cukup untuk anaknya.

c.       Mengembangkan rasa malu

Setiap anggota masyarakat memiliki”rasa malu”¸akan tetapi dengan ukuran yang berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Budaya malu berkenan dengan “harga diri”. Harga diri akan turun jika seseorang melakukan kesalahan yang melanggar norma-norma sosial suatu masyarakat. Masyarakat akan sangat antusias mencela setiap anggotanya yang melakukan pelanggaran terhadap norma. Celaan itu dengan sendirinya akan menciptakan kesadaran untuk tidak mengulangi pelanggaran tersebut. Bila setiap perbuatan melanggar norma dicela, maka dengan sendirinya akan timbul “budaya malu” dalam diri seseorang.


-------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Manusia dan Peradaban
Kasus II

RUU KUHP
Pasal Santet Bisa Timbulkan Kegoncangan Sosial

 Jakarta - Pasal santet dalam Rancangan KUHP terus menuai kontroversi. Ada yang mendukung tetapi ada yang menolak. Menurut anggota Komisi III DPR, Didi Irawadi Syamsuddin, pasal ini bisa memicu kegoncangan sosial apabila diterapkan.

"Bila delik atau pasal santet dianggap sebagai delik materil, jelas akan mengundang masalah. Sebab, amat sulit untuk pembuktiannya. Bagaimana membuktikan bahwa seseorang memiliki ilmu gaib atau ilmu hitam? Apalagi bila sampai harus membuktikan apakah benar akibat perbuatan orang itu, atau santetnya, ilmu gaibnya, ilmu hitamnya, menyebabkan korban meninggal atau luka-luka?," kata Didi kepada detikcom, Kamis (21/3/2013).

Bila pasal santet itu dikategorikan sebagai delik formal, maka tak perlu dibuktikan akibat dari perbuatan org tersebut. Juga tak perlu dibuktikan apakah benar orang itu yang menyantet.

"Ini pun akan menimbulkan masalah, bahkan tak mustahil kegoncangan sosial. Sebab, seseorang bisa saja dipenjara karena tuduhan-tuduhan bisa menyantet atau tuduhan sebagai dukun santet. Bahkan kini sudah menggejala masyarakat langsung 'main hakim sendiri' terhadap orang yang dituding sebagai dukun santet," tandas politikus Partai Demokrat ini.

Oleh karena itu, pasal santet tak perlu ada atau tak usah masuk dalam RUU KUHP. Menurut Didi, kalaupun kaidah hukum pidana semacam itu dikehendaki, maka tidak perlu dimasukkan ke dalam RUU KUHP.

"Cukup diakomodasi dengan kaidah hukum pidana yang bersifat umum tentang aturan menyangkut permufakatan jahat atau adanya orang yang hendak melakukan tindak pidana," pungkas Didi.

Rancangan KUHP ini diserahkan dari pemerintah ke DPR pada Rabu (6/3) lalu. Delik santet ini diatur dalam pasal 296 Rancangan KUHP yang mengancam orang yang 'mengiklankan diri' bisa menyantet dipidana paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp 300 juta.

(asp/ndr)

PEMBAHASAN
Masyarakat merupakan suatu populasi yang membentuk organisasi sosial yang bersifat kompleks. Dalam organisasi sosial terdapat nilai-nilai, norma-norma, dan pranata-pranata sosial. Dalam organsisasi sosial terdapat juga peraturan-peraturan untuk bertingkah laku yang ke semuanya berinteraksi dalam kehidupan mansyarakat. Meskipun nilai, norma, pranata sosial, dan peraturan dimiliki oleh setiap kelompok masyarakat dengan tingkat peradaban berbeda, dapat dipastikan tidak akan pernah semua anggotanya mengetahui sekaligus menyetujuinya. Tidak mungkin semua orang akan begitu saja berprilaku sesuai dengan nilai, norma, pranata sosial ,dan peraturan yang berlaku.
Setiap masyarakat di mana pun pasti akan mengalami perubahan dan dinamika sosial. Perubahan dan dinamika itu merupakan akibat dari adanya interaksi antarmanusia dan antarkelompok. Akibatnya, di antara mereka terjadi proses saling mempengaruhi yang menyebabkan perubahan dan dinamika sosial.
Pada zaman modernisasi sekarang, ternyata masih ada masyarakat yang masih mempertahankan kebudayaan lama, disamping seharusnya mereka dituntut sebagai pihak yang berperan menjadi penyebab terjadinya perubahan dan dinamika sosial. Masyarakat masih ada yang percaya dengan adanya praktek dukun santet. Praktek yang identik dengan hal-hal yang berbau mistis ini, memang masih dipertahankan keberadaannya oleh segelintir orang di masyarakat pada peradaban yang sudah berkembang ini.
Alasan penulis mengangkat kasus diatas adalah sebagai berikut.
Segala macam bentuk tindakan kejahatan, mempunyai konsekuensinya masing-masing dalam bentuk sistem hukum yang mengaturnya. Misalnya saja perampokkan. Perampokkan memiliki hukum pidana tertentu yang diatur dalam UU. Namun berbeda dengan tindakan kejahatan yang dilakukan dengan modus santet. Masalah santet khususnya bagi dukun santet, menjadi problema yang perlu dibahas dan ditelaah lebih lanjut. Mengapa demikian?
            UU yang mengatur mengenai praktek santet masih belum pasti, sehingga hukum yang nantinya akan dijatuhkan kepada orang yang menyantet bisa dikatakan masih terbebas dari jeratan hukum secara menyeluruh. Tetapi, tidak dapat juga dipungkiri, jika pelaku santet harus menerima ganjaran akibat perbuatannya itu. Pemerintah saat ini, berencana membuat UU yang mengatur hukum bagi para pelaku-pelaku santet.


KOMENTAR
Tidak ada satu masyarakat pun di dunia ini yang statis, selelu terjadi dinamika dan perubahan sosial dan budaya di masyarakat. Namun seiring berjalannya waktu, yang akan menggiring suatu peradaban menuju peradaban yang semakin maju, tidak tertutup kemungkinan kebudayaan-kebudayaan lama yang dipakai begitu saja ditinggalkan. Perubahan kebudayaan untuk menuju suatu kebudayaan yang baru dan yang lebih baik, memeang menjadi persoalan dalam peradaban yang berkembang. Disamping masyarakat masih merasa nyaman memakai kebudayaan lama, dan disisi lain juga mereka masih belum bisa menerima dan beradaptasi dengan kebudayaan baru yang lebih kompleks.
Santet merupakan kebudayaan lama yang sekarang, masih dipakai dan diperaya. Santet dalam pengertian umum adalah perbuatan yang dapat mencelakakan bahkan dapat menghilangkan nyawa orang lain dari jarak jauh dan biasanya mereka mempunyai hubungan khusus dengan setan. Santet adalah perilaku mistis yang sulit sekali ada pembuktian konkritnya, menggunakan media dan jampi-jampi yang hanya diketahui mereka sendiri saja. Karena santet berhubungan dengan perilaku yang dapat mencelakakan orang lain, maka santet dapat dikatakan sebagai tindakan kejahatan, dapat diadili pelakunya serta dapat diatur dalam UU.
Masalah utama dari kasus diatas adalah bahwasanya pembuktian terhadap para pelaku benar atau tidaknya mereka melakukan santet,memang sukar untuk dilakukan. Masyarakat hanya bisa menaruh curiga dan mengajukan hipotesis-hipotesis terhadap pelaku-pelaku santet. Apabila pembuktian terhadap pelanggaran yang telah dilakukan oleh para pelaku santet tidak ada, maka masyarakat akan kecewa. Jika kesempatan untuk mencapai tujuan tersebut tidak ada, maka masyarakat terpaksa mencari jalan alternatif lainnya. Alternatifnya kemungkinan merupakan cara-cara yang tidak diperkenankan dan akan menimbulkan penyimpangan sosial. Biasanya masyarakat akan dengan bertindak “main hakim sendiri” kepada para pelaku yang dituding melakukan santet karena pihak kepolisian yang menangani perkara tersebut di lapangan, tidak dapat melakukan pembuktian langsung.
Namun dengan adanya pasal dalam UU yang mengatur tentang hukum santet, hal ini akan menimbulkan masalah, bahkan dikhawatirkan munculnya kegoncangan sosial di masyarakat. Sebab, seseorang bisa saja dipenjara karena tuduhan-tuduhan bisa menyantet atau sebagai dukun santet.
                                                                                                     
SOLUSI
Adapun solusi unutk mengatasi persoalan diatas dapat di kelompokan menjadi dua alternatif pilihan.
1.      Jika pemerintah bersikeras tetap membuat UU tentang santet, maka sebaiknya para pelaksana hukum terlebih dahulu harus dibekali pengetahuan yang cukup tentang hal-hal yang berkaitan dengan santet-menyantet, baik itu oleh pihak polisi, pengacara, hakim dan sebagainya. Pengetahuan yang didapat tidak harus pada cara-cara lumrah seseorang melakukan santet, namun hanya pada gejala-gejala yang muncul serta dapat diamati keberadaanya sebagai akibat dari perbuatan santet tersebut. Misalnya, tanda-tanda seseorang terkena santet.

2.      Sebaiknya santet tidak diberlakukan UU khusus. Tindakan kejahatan yang berhubungan dengan santet dimasukkan saja pada UU yang mengatur tentang tindakan kejahatan lainnya yang hampir mendekati pada santet, misalnya penganiayaan. Hal ini disebabkan, jika seseorang telah diduga melakukan santet kepada orang lain, maka untuk melakukan pembuktian apakah dia benar melakukan praktek santet atau tidak sangat sulit dilakukan. Pembuktian yang hanya mengandalkan hipotesis, tanpa adanya fakta sangat sulit diterima oleh masyarakat, terutama bagi pihak yang mengadili nantinya.


-----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Manusia, Keragaman dan Kesetaraan
Kasus III

Skenario Jahat Tragedi Poso

 Jakarta - Sejak kabar kedatangan hingga kepulangan Presiden Bush, teror bom bermunculan. Ada yang sekadar isu, dan ada pula yang naga-naganya kecelakaan. Itu terjadi di SMU 3 Setiabudi, Jakarta, di SD Baliharjo Pacitan, serta di rumah Basori, Kopral Kepala anggota Arhanud di Malang, Jawa Timur. Kabar yang masih kabur itu tak pelak telah menebar kepanikan, serta mencuatkan ekspresi ketakutan. Padahal harapan dari pembuat isu itu amat 'sederhana', agar Bush dibenarkan sebagai biang terorisme. Kabar macam ini di Jawa masihlah bisa diterima akal. Heterogenitas manusia dan masalah, serta kompleksitas problematika yang ada memang memberi kemungkinan tentang itu. Tujuannya bermacam-macam. Namun karena peristiwa itu berdekatan dengan kedatangan dan kepulangan 'tamu agung' dari negeri Paman Sam itu, maka apa yang terjadi itu memang bertujuan agar peristiwa itu dikait-kaitkan, atau agar punya keterkaitan dengan Presiden yang mulai turun pamor itu. Namun yang kurang masuk akal soal isu macam itu adalah berbagai peristiwa yang terjadi di Poso. Konflik berkepanjangan di daerah ini, baik antar-penduduk maupun warga dengan aparat keamanan, rasa-rasanya kurang bisa diterima akal. Mengapa begitu? Karena selain bibit konflik itu sebenarnya 'tidak ada', juga dalam inventarisasi budaya, daerah ini sudah lama harmonis dan bisa hidup saling berdampingan secara mesra. Jika dikaji, potensi konflik di Poso tidaklah serentan Ambon yang kini sudah normal kembali. Selain kandungan positif yang termaktub dalam adat 'pala', secara historis, ternyata ada banyak kemungkinan Ambon untuk kembali saling baku-bunuh. Sebab dalam persoalan tokoh sejarah daerah ini, hingga sekarang tetap belum bisa menyatu. Patimura dan Christina Martha Tiahohu terus diperdebatkan. Dan tetap belum ditemukan konklusi akhir. Bagi masyarakat Islam di Ambon, atau kalau diperluas di Lease yang terdiri dari Pulau Ambon, Ina, Haruku, Saparua, Seram dan Pulau Buru, Patimura adalah kepanjangan dari Achmad Pattimura yang meluluhlantakkan pertahanan Belanda di gunung Verkedelleche yang ada di Pulau Saparua. Namun bagi pemeluk Kristen di kawasan ini, maka Pattimura sang pahlawan itu adalah Thomas Matulesi. Sedang pahlawan wanita daerah ini yang dikenal dengan nama Christina Martha Tiahohu juga mempunyai dua nama berdasar Islam dan Kristen. Jika nama di atas identik dengan penyebutan umat Nasrani, maka bagi yang beragama Islam, tokoh wanita itu bernama Siti Maryam. DiaIah Srikandi kelahiran Pulau Ina, yang melakukan pemberontakan untuk menentang penjajahan Belanda. Sejarah yang sama tetapi tidak sama itu amatlah rumit. Sejarah itu telah memberi kotak bagi perbedaan untuk kedua umat beragama yang berbeda ini. Dengan begitu, jika dikaitkan dengan pengajaran di sekolah, maka terasa ada sekat yang tidak memungkinkan untuk disatukan. Nama tokoh sejarah itu telah memberi 'identitas' terhadap agama apa yang dipeluk penyebutnya. Tapi berkat kesadaran dari masing-masing pemeluk agama di Ambon, maka perbedaan yang sulit untuk dipersatukan itu ternyata bisa bersatu. Ambon yang lama terlibat konflik basudara, toh akhirnya kini reda dan kondusif. Ambon kembali manise, dan saling berkesadaran untuk membangun daerahnya yang sempat luluhlantak akibat konflik. Jika Ambon yang 'berbeda' saja bisa dipersatukan, mengapa Poso yang relatif tak menyimpan budaya macam itu hingga kini harus terus menumpahkan darah? Adakah itu karena warga Poso 'belum' berkesadaran? Atau justru karena ada 'skenario jahat' yang dijalankan untuk 'pembunuhan karakter' tokoh tertentu untuk tujuan tertentu pula. Sinyalemen itu terpaksa terungkapkan, karena dari hari ke hari, di Poso masih tampak menegang. Suasana macam itu amatlah memprihatinkan. Sebab jika tergesek sedikit saja, maka konflik yang bermuatan SARA kembali meletup dengan korban yang tak terbayangkan. Untuk itu, agar asumsi destruktif itu mereda dengan sendirinya, kesigapan aparat serta penuntasan konflik di daerah ini perlulah sesegera mungkin dilakukan. Tanpa itu, maka jika kembali muncul konflik, dengan alasan apapun penyulut konflik itu, maka pastilah tudingan yang dialamatkan tak sekadar peristiwa itu dianggap sebagai kriminalitas yang dipicu persoalan SARA, tetapi akan melebar kemana-mana. Terjadi politisasi, ada dalang intelektual yang berdiri di baliknya.



PEMBAHASAN
            Keragaman manusia dimaksudkan bahwa setiap manusia memiliki perbedaan. Perbedaan itu ada karena manusia dalah makhluk individu yang setiap individu memiliki ciri-ciri khas tersendiri. Perbedaan itu terutama ditinjau dari sifat-sifat pribadi, misalnya sikap, watak, kelakuan, temperamen, dan hasrat. Selain sebagai makhluk individu, manusia juga sebagai mahkluk sosial yang membentuk suatu kelompok persekutuan hidup. Tiap kelompok persekutuan hidup manusia juga memiliki keragaman. Masyarakat sebagai persekutuan itu berbeda dan beragam karena ada perbedaan, misalnya dalam hal ras, suk, agama, budaya, ekonomi, status sosial, jenis kelamin, daerah tempat itnggal, dan lain-lain. Hal-hal demikian kita katakan sebagai unsur-unsur yang membentuk keragaman dalam manyarakat.
            Keragaman manusia baik dalam tingkat individu maupun tingkat masyarakat, merupakan tingkat realitas atau kenyataan yang mesti kita hadapi dan alami. Keragaman individual maupun sosial adalah implikasi dari kedudukan, baik sebagai mahkluk individu maupun mahkluk sosial. Kita sebagai individu memiliki perbedaan dengan seseorang sebagai individu. Demikian juga kita sebagai bagian dari satu masyarakat memiliki perbedaan dengan masyarakat lainnya.
            Dengan adanya masyarakat yang majemuk, yang menandakan adanya keragaman sehingga mencerminkan adanya perbedaan, tidak berarti akan terlepas dari adanya permasalahan-permasalahan sosial. Permasalahan sosial lebih mendekati pada terjadinya konflik antar kelompok atau masyarakat. Konflik yang terjadi akibat dari keragaman itu, cenderung dilatarbelakangi oleh perbedaan yang agaknya sulit didamaikan atau ditemukan kesamaannya. Perbedaan tersebut antara lain menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, dan keyakinan.
           Konflik merupakan situasi wajar dalam setiap masyarakat. Bahkan tidak ada satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik, entah dalam cakupan kecil ataupun besar. Konflik di Poso juga demikian. Konflik yang terjadi akibat perbedaan yang sulit didamaikan atau  ditemukan kesamaannya yang berkaitan dengan masalah keyakinan antar umat beragama di sana.
Alasan penulis mengangkat kasus di atas adalah sebagai berikut.
             Masalah sosial merupakan gejala-gejala (fenomena) sosial yang tidak sesuai antara apa yang diinginkan dengan apa yan terjadi di masyarakat. Sebagai kumpulan makhluk yang dinamis, kita senantiasa menemukan masalah-masalah di masyarakat. Pada masyarakat Indonesia banyak dijumpai masalah-masalah sosial yang disebabakan oleh perubahan-perubahan yang terus-menerus. Akibatnya, terjadi kerusakan atau keretakan organisasi sosial (disorganisasi) di masyarakat.
             Masalah-masalah sosial yang terjadi di masyarakat seringkali merupakan masalah-masalah sosial nyata dan masalah-masalah sosial laten. Masalah sosial nyata adalah masalah sosial yang timbul sebagai akibat terjadinya kepincangan-kepincangan yang disebabkan tidak sesuainya tindakan dengan norma dan nilai yang berlaku dalam masyarakat, dan pada umunya masyarakat tidak menyukai kepincangan-kepincangan tersebut. Masalah sosial nyata diakui oleh masyarakat keberadaannya dan berkeyakinan dapat diatasi atau dihilangkan. Sedangkan masalah sosial laten adalah masalah-masalah sosial yang terjadi di dalam masyarakat tetapi masyarakat tidak mengakuinya sebagai masalah di tengah-tengah mereka. Hal ini disebabkan oleh suatu ketidakberdayaan untuk mengatasinya.
            Berbicara mengenai masalah sosial yang pernah terjadi di Indonesia, Poso adalah salah satu daerah yang terletak antara teluk tomini dan teluk tolo, termasuk dalam provinsi Sulawesi Tengah yang pernah mengalami tragedi kemanusiaan yang mengerikan. Masalah sosial di Poso merupakan konflik kemanusiaan yang disinyalir akibat adanya pertentangan antar agama, namun ada juga yang mengatakan sebagai akibat dari masalah pembagian kekuasaan. Masalah sosial di Poso erat kaitannya dengan persoalan kurangnya sikap toleransi antar umat beragama disana. Dalam hal ini, konflik di Poso terjadi antara kaum minoritas oleh golongan muslimin dengan kaum mayoritas oleh kaum kristiani.
            Konfik berdarah di Poso hendaknya dijadikan sebagai pelajaran yang berharga sehingga perlu adanya pengkajian terhadap masalah tersebut. Pengkajian yang dilakukan dapat berupa menamati mempelajari gejala-gejala sosial yang tampak seperti sumber masalahnya, dampak yang ditimbulkan, dan solusi yang terbaik sebagai bentuk koreksi dan antisipasi sehingga diharapakan jangan sampai peristiwa mengerikan tersebut terulang kembali.

KOMENTAR
           Dalam setiap agama terdapat ajaran tentang kebenaran yang suci menurut penganutnya masing-masing. Perbuatan-perbuatan yang arif, bijaksana dan pengabdian terhadap penguasa alam semesta adalah pokok-pokok yang paling penting dalam setiap ajaran agama. Oleh sebab itu, setiap pemeluk agama akan berusaha sedapat mungkin mewujudkan ajaran agamanya tersebut dalam tingkah lakunya sehari-hari. Ajaran agama mempunyai sanksi mutlak, artinya setiap orang akan menerima hukuman setimpal bila melanggar ajaran-Nya dan tidak ada satu orangpun yang akan lolos dari pengadilan Illahi. Hal ini membuat ajaran agama sebagai media pengendalian sosial yang cukup besar pengaruhnya dalam menjaga stablilitas masyarakat.
          Keragaman yang menjadi ciri khas negara Indonesia, tidak selamanya akan berlangsung harmonis. Adakalanya dari keragaman itu, muncul problema serius yang berkaitan erat dengan kurangnya rasa saling menghargai dan kasih sayang sehingga mengabaikan kesetaraan. Konflik yang terjadi di Poso mulai terjadi pada Desember 1998 merupakan konflik budaya yang berlatar belakang kerusuhan sentimen agama (SARA)
         Jika dilihat dari sudut pandang poltik, ada yang mengganggap tragedi di Poso disebabkan oleh pihak-pihak provokasi yang ingin menumbuhsuburkan kepentingan politiknya di Poso. Islam dan Kristen merupakan dua agama yang berkonflik di Poso, dimana penyebab utama masalahnya yakni seolah-olah terlihat sebagai permasalahan yang berkaitan dengan kurangnya toleransi antar umat beragama. Akar permasalahan yang terjadi di Poso merupakan masalah yang ditimbulkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab yang sering mengacau demi kepentingan politik mereka. Mereka menggunakan agama sebagai alasan untuk kepentingan. Jadi, sebenarnya toleransi antar umat beragama yakni antara Islam dan Kristen dahulunya sudah hidup saling berdampingan secara damai tanpa permusuhan.     Biasanya toleransi terjadi karena adanya keinginan-keinginan untuk sedapat mungkin menghindarkan diri dari perselisihan yang saling merugikan kedua belah pihak.
          Seharusnya dengan adanya keragaman akan mempercepat terjadinya suatu asimilasi. Suatu asimilasi ditandai oleh usaha-usaha mengurangi perbedaan antara orang atau kelompok. Untuk mengurangi perbedaan itu, asimilasi meliputi usaha-usaha mempererat kesatuan tindakan, sikap, dan perasaan dengan memperhatikan kepentingan serta tujuan bersama. Hasil dari prosess asimilasi adalah semakin tipisnya batas perbedaan antara indiviud dalam  suatu kelompok, atau bisa juga batas-batas antarkelompok. Selanjutnya, indivdu melakukan (pengenalan) identifikasi diri dengan kepentingan bersama. Artinya, menyesuaikan kemauannya dengan kemauan kelompok. Demikian pula antara kelompok yang satu dengan kelompok lain.
        Jikia dilihat dari sudut pandang agama, dalam Al-Qur’an sudah pasti Islam merupakan agama murni yang berasal dari Allah tanpa campur tangan dari manusia. Hal diatas yang menjadikan golongan kristen melakukan kristenisasi terhadap golongan muslim di Poso. Sebab, agama selain dari Islam bukan merupakan agama murni, namun termasuk agama yang berasal dari hasil pemikiran manusia sehingga dapat dikatakan sebagai kebudayaan. Sedangkan kebudayaan itu akan terus berkembang dan mengalami perubahan. Sehingga dengan bermodalkan pemikiran itu, akan muncul harapan-harapan bahkan dapat berupa paksaan (koersi) dari agama budaya yang mereka anut agar budaya tersebut dapat berkembang dan mengalami perubahan. Tentunya perubahan yang diharapkan yaitu perubahan yang ke arah lebih baik, namun dengan cara-cara yang tidak diperkenankan.
SOLUSI
Adapun solusi yang dapat dikemukakan untuk mengatasi ataupun mengantisipasi peristiwa yang terjadi di Poso yakni sebagai berikut.
·         Bagi masing-masing agama, hendaknya melakukan usaha-usaha mengurangi perbedaan. Sebaiknya kedua belah pihak dapat menanamkan sikap-sikap berikut.
-          toleransi antar umat beragama, saling menghargai dan menghormati
-          menjunjung tinggi sikap terbuka dari golongan yang berkuasa di masyarakat
-          menetapkan mempunyai musush yang sama dan meyakini kekuatan-kekuatan masing-masing untuk menghadapi musuh tersebut. Sebenarnya musuh mereka bukanlah antara agama Islam dan Kristen namun orang-orang rezim yang menginginkan perpecahan (disintegrasi) untuk urusan politik mereka
-          menghindari dari prasangka negatif terhadap pengaruh kebudayaan masing-masing
-          mengusahakan tercapainya akulturasi.
·         Berdasarkan ajaran agama yang dianut, sebaiknya kedua belah pihak berusaha mengembangkan rasa takut. Perasaan takut akan mengarah seseorang untuk tidak melakukan perbuatan yang dinilai mengandung resiko. Dengan demikian, orang akan berkelakuan baik dan taat pada tata kelakuan atau adat istiadat sebab sadar bahwa perbuatan yang menyimpang dari norma-norma itu akan berakibat tidak baik bagi dirinya maupun orang lain di sekitarnya. Rasa takut juga diajarkan dalam beragama. Agama mengajarkan bahawa semua perbuatan yang menyimpang akan mendapat ganjaran (hukuman) yang setimpal di akhirat. 
·         Untuk mengantisipasi kembali terjadinya konflik berkepanjangan di Poso, pemerintah harus memperkuat keamanan di sekitar Poso. Untuk mengatasi konflik tersebut pihak pemerintah harus menyelidiki siapakah dalang dibalik peristiwa Poso. Dan juga  mengusahakan pemulihan kembali segi-segi kehidupan di tanah Poso pasca konflik, misalnya aspek ekonomi dengan membangun kembali industri kecil dan menengah yang sempat lumpuh akibat konlik yang terjadi di Poso.



REFERENSI
M. Idianto.2004.SOSIOLOGI.Erlangga:Jakarta.
http://news.detik.com/skenario-jahat-tragedi-poso diakses tanggal 30 Maret 2013.


----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Yang mau mendownload file .docx-nya, silahkan tinggal klik gambar berikut:
Download


Terima Kasih.. ^_^

No comments

No comments :

Post a Comment